Moncernya Kembali Wayang Potehi

FOTO : Munthis Stanislavski/beritajombang.NET
Wayang Potehi koleksi Toni  Hartono

Gudo (beritajombang.net) - Kesenian tradisional Wayang Potehi asli peninggalan etnis Thionghoa itu berkembang di berbagai wilayah Indonesia pada abad ke-16, begitu pula di Jombang. Hampir setiap tempat peribadatan Tridarma (Tios-Budha-Kong Hu Cu). Salah satu sentra kebudayaan Cina di Jombang cukup kental di kawasan Kecamatan Gudo, hal itu karena terdapat Kelenteng berusia lebih dari 3 abad yakni Kelenteng Hong San Kiong. Wayang Potehi sering digelar dua kali dalam setahun biasanya di pentaskan saat peringatan hari lahir Dewa. Misalnya Kong Co Tek Jin atau Dewa Bumi di bulan 2 penanggalan Cina ketika Dewa mencapai kesempurnaan. Menurut kisah versi salah satu dalang Potehi di Jombang, Toni Hartono sekaligus Ketua Wayang Potehi Fu He An Indonesia, Potehi berasal dari gabungan kata pou (kain), te (kantong) dan hi (wayang) atau wayang dari kantong kain.

"Pada dasarnya bagian utama Potehi ada di bagian kepala. Bagian  itu sangat menentukan karakteristik wayangnya. Mulai dari desain mimik wajahnya sampai pada pewarnaan. Selanjutnya ada bagian tangan dan kaki. Ketiga bagian itu kemudian dibungkus dengan kain mori yang berisi dakron atau semacam kapas," terang Toni, yang sudah menghasilkan buku Wayang Potehi.

Wayang Potehi awalnya dimainkan oleh lima orang tahanan Kaisar Dinasti Song, yang mendapat vonis hukuman mati. Selama menunggu eksekusi, salah satu tahanan itu memiliki ide untuk menghibur diri dan teman-temannya dengan memainkan wayang dan menggunakan piranti seadanya, panci, priring dan peralatan lainnya yang bisa ditabuh dan menghasilkan bunyi-bunyian. Kemudian pertunjukkan dalam penjara itu terdengar sampai di Istana Kaisar, sehingga terpidana itu lantas dibebaskan dan dijadikan penghibur wayang di istana. Sejak itulah Wayang Potehi menjadi populer.

Tokoh Wayang Potehi juga bermacam-macam, tergantung watak tokohnya. Kostum dan desain wayangnya pun menyesuaikan. Menurut dalang Potehi, Toni Hartono yang juga menjadi ketua pengurus Kelenteng Hong San Kiong menyebutkan ada ratusan karakter wayang, mulai dari yang baik, jahat, genit, angkuh, dan karakter lainnya. Bahkan Toni juga memliki koleksi Wayang Potehi yang berusia ratusan tahun dari mendiang kakeknya.

 Para pemain Wayang Potehi itu terdiri dari dalang yang menjalankan wayang, asisten dalang  membuat pertunjukkan semakin meriah, sehingga dalam panggung itu bisa muncul lebih dari dua wayang yang diamainkan. Selanjutnya 2 atau 3 pemain musik yang memainkan alat musik berupa Gembreng, Terompet, Simbal, Piak Kou, Kecer, Rebab secara bergantian. Lakon-lakon yang dimainkan semisal Sie Jin Kwei, Sun Go Kong atau See Moe, Poei Sie Giok, Hong Kian Chun Chiun yang dimainkan dengan dialek Hokkian. Namun kini dalam perkembangannya dimainkan ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga masyarakat heterogen yang bukan dari etnis Thionghoa bisa menikmati alur cerita yang dimainkan dalam Potehi.

“Kebetulan leluhur saya dulu dalang potehi semua, kakek saya dalang, trus papa saya juga dalang. Wayang potehi yang usianya ratusan tahun ini masih rajutan dan jahitan tangan. Motif-motifnya juga dibuat dengan tangan. Banyak sekali karakternya. Tapi yang banyak disukai masyarakat itu Sie Jin Kui atau yang sekarang dijadikan ketoprak Joko Sudiro”, tutur Toni sambil memerkan koleksi Wayang Potehinya.

Keberadaan Wayang Potehi tidak hanya diilhami sebagai seni pertunjukkan Wayang yang menyajikan alur klimaks dan anti-klimaks saja, tetapi memiliki nilai-nilai sosial dan ritual, sehingga membuat kebudayaan yang berkembang di Kabupaten Jombang semakin berwarna. Inilah salah satu aset budaya yang perlu dilestarikan di tengah peradaban moderenisasi, tentu dengan memadukan inovasi-inovasi kultural lainnya, agar budaya Indonesia juga semakin kaya. Namun tanpa menanggalkan hakikat dasarnya. [dra/lar]

Related News

Tidak ada komentar:

Leave a Reply